Abnormalitas dapat didefinisikan
sebagai suatu ketidaknormalan yang dilihat oleh seorang yang normal. Atau dalam
kata lain, abnormalitas merupakan suatu keanehan yang terjadi di lingkungan
orang-orang normal. Abnormalitas dapat kita temui dalam kehidupan sehari-hari,
misalnya ketika kita melihat seseorang dengan gangguan jiwa. Mengapa kita
menganggapnya sebagai suatu yang abnormal? Karena kita merasa diri kita tidak
melakukan atau bertindak seperti yang mereka lakukan.
Abnormalitas
disebabkan oleh tiga dimensi, yaitu penyebab biologis, penyebab psikologis, dan
penyebab sosiokultural. Berikut adalah penjelasannya:
Penyebab Biologis.
Dalam usaha memahami penyebab perilaku abnormal, para ahli kesehatan mental
dengan hati-hati mengevaluasi apa yang terjadi di tubuh seseorang yang dapat
dihubungkan ke warisan genetis atau gangguan fungsi fisik. Sebagai komponen
rutin dalam setiap evaluasi, Dr.Tobin melakukan penilaian sampai sejauh mana
masalah yang kelihatannya disebabkan secara emosional dapat dijelaskan dalam
kerangka determinan biologis. Memahami peran faktor biologis sebagai penyebab
penting juga membuat Dr.Tobin mewaspadai fakta bahwa ia mungkin perlu
menggabungkan komponen biologis seperti obat – obatan dalam intervensinya.
Sebagaimana terdapat pada
banyak gangguan medis, berbagai gangguan psikologis terjadi di keluarga.
Gangguan depresi mayor merupakan salah satu dari gangguan-gangguan ini. Seorang
anak lelaki atau perempuan dari orang tua yang menderita depresi, secara
statistik memiliki kemungkinan mengalami depresi yang lebih besar daripada
mereka yang orangtuanya tidak menderita depresi.
Sebagai tambahan dalam
menjelaskan peran faktor genetis, paran klinisi juga mempertimbangkan bahwa
perilaku abnormal mungkin saja merupakan akibat dari gangguan fungsi fisik.
Gangguan semacam itu dapat muncul dari berbagai sumber, seperti kondisi medis,
kerusakan otak, atau paparan jenis stimulan tertentu di lingkungan. Banyak
kondisi medis yang dapat menyebabkan seseorang merasa dan bertindak abnormal. Sebagai
contoh, abnormalitas medis di kelenjar tiroid dapat menyebabkan rentang kondisi
mood dan emosi yang beragam.
Kerusakan otak yang diakibatkan oleh trauma kepala meskipun ringan, dapat
mengakibatkan perilaku aneh dan perubahan emosi yang intens. Sama halnya dengan
pencernaan zat-zat, baik obat terlarang maupun pengobatan yang diizinkan, dapat
mengakibatkan perubahan emosi dan perilaku yang menyerupai gangguan psikologis.
Bahkan, paparan stimulan lingkungan seperti zat beracun atau zat penyebab
alergi dapat menyebabkan seseorang mengalami perubahan emosi dan perilaku yang
mengganggu.
Penyebab Psikologis. Jika
faktor biologis dapat memberikan semua jawaban, maka kita akan menganggap
gangguan mental sebagai penyakit medis. Sesungguhnya, hal ini tidak hanya
sekedar itu saja. Gangguan umumnya muncul sebagai akibat pengalaman hidup yang
bermasalah. Mungkin sebuah peristiwa satu jam yang lalu, tahun lalu, atau saat
ini dalam hidup seseorang telah meninggalkan bekas yang menyebabkan perubahan
dramatis pada perasaan atau perilaku. Misalnya, komentar merendahkan dari
seorang profesor dapat meninggalkan perasaan terluka pada seorang mahasiswa dan
menyebabkan depresi selama berhari-hari. Kekecewaan dalam hubungan asmara dapat
menimbulkan respons emosional yang intens selama berbulan-bulan. Sebuah trauma
yang terjadi bertahun-tahun yang lalu dapat terus memperngaruhi pikiran,
perilaku, dan bahkan mimpi seseorang. Pengalaman hidup juga berkontribusi
terhadap gangguan dapat menyebabkan individu membentuk asosiasi negatif
terhadap stimulus tertentu. Sebagai contoh, kekuatan irasional pada ruangan
sempit mungkin muncul karena pernah terjebak di dalam elevator.
Oleh karena itu, dalam
mengevaluasi penyebab psikologis pada abnormalitas, para ilmuwan sosial dan
klinisi mempertimbangkan pengalaman hidup seseorang. Sebagian besar pengalaman
tersebut bersifat interpersonal-kejadian-kejadian yang terjadi karena interaksi
dengan orang lain. Namun, orang juga memiliki pengalaman intrapsikis,
pengalaman yang terjadi di dalam pikiran dan perasaannya. Masalah-masalah
emosional dapat muncul dari persepsi yang terdistorsi dan cara berpikir yang
salah.
Penyebab Sosiokultural. Siapa
diri kita sebagian besar ditentukan oleh interaksi interpersonal yang terjadi
di lingkaran pusat kehidupan kita. Istilah sosiokultural mengacu pada berbagai lingkaran pengaruh sosial dalam hidup
seseorang. Sebagian besar lingkaran tengah terdiri dari orang-orang yang paling
sering berinteraksi dengan kita di tingkat lokal. Bagi mahasiswa perguruan
tinggi, orang-orang ini bisa jadi teman sekamar, rekan kerja, dan teman sekelas
yang mereka temui secara teratur. Lingkaran yang lebih luar dari lingkaran
tengah adalah mereka yang mendiami lingkaran hubungan yang lebih luas, seperti
anggota keluarga di rumah atau teman-teman di sekolah menengah atas. Lingkaran
ketiga terdiri dari orang-orang di lingkungan kita yang hanya berinteraksi
dengan kita secara minimal dan kurang kita kenal namanya, mungkin penghuni
komunitas kita atau kampus yang standarnya, harapannya, dan perilakunya
mempengaruhi hidup kita. Lingkaran sosial keempat adalah budaya yang lebih
luas, tempat kita hidup seperti masyarakat Amerika.
Abnormalitas, dapat pula
disebabkan oleh kejadian-kejadian pada salah satu atau keseluruhan konteks
sosial tersebut. Hubungan yang bermasalah dengan teman sekamar atau anggota
keluarga dapat mengakibatkan seseorang merasa sangat tertekan. Hubungan asmara
yang gagal dapat menyebabkan depresi yang memungkinkan tindakan bunuh diri.
Keterlibatan dalam hubungan yang mengandung kekerasan dapat menyebabkan gaya
interpersonal ketika orang yang mengalami kekerasan berulang kali terjerat
hubungan dengan orang yang suka menyakiti dan merusak. Dibesarkan oleh orang tua
yang sadis dapat pula menyebabkan seseorang membangun pola hubungan yang
dicirikan dengan kontrol dan luka emosional. Huru-hara politik, bahkan pada
level yang relatif lokal, dapat memunculkan emosi dari kecemasan yang
mengganggu hingga ketakutan yang tak tertahankan. Bagi beberapa orang, penyebab
abnormalitas lebih luas, mungkin bersifat kultural atau sosial. Misalnya,
pengalaman diskriminasi memiliki pengaruh yang besar terhadap seseorang dari
kelompok minoritas, baik menyangkut ras, budaya, orientasi seksual atau kecacatan.
Setelah pembahasan tentang
abnormalitas itu sendiri, berikut ini akan dijelaskan hubungan abnormalitas
dengan konsep motivasi, stress, dan gender.
Keterkaitan abnormalitas dengan konsep motivasi. Konsep motivasi merupakan konsep yang dimiliki setiap
individu. Konsep motivasi ini berarti suatu konsep dalam diri yang berupa
dorongan untuk melakukan suatu tindakan. Hubungan antara abnormalitas itu
sendiri dengan konsep motivasi sebenarnya tergantung pada sudut pandang yang
kita pilih untuk menjelaskannya. Abnormalitas seseorang bisa saja mempengaruhi
konsep motivasinya. Seorang yang abnormal berarti memiliki suatu kelainan di
mata masyarakat umum. Kelainan ini membuat dirinya tidak dapat berfungsi secara
optimal atau dikatakan “tidak sehat”. Seseorang yang tidak sehat tentu saja
tidak mampu memenuhi tuntutan lingkungan atau tuntutan hidup, misalnya memenuhi
kebutuhan fisiologis, kebutuhan akan kasih sayang, kebutuhan akan rasa aman,
kebutuhan atas penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri seperti yang
diungkapkan dalam hirarki kebutuhan Maslow. Sedangkan kelima kebutuhan tersebut
berkaitan erat dengan motivasi individu dalam kehidupan. Maka, seorang yang
abnormal dapat dikatakan memiliki konsep
motivasi yang menyimpang dari apa yang dialami oleh seorang yang normal. Bahkan
bisa saja konsep motivasi dirinya tidak lagi berkiblat pada hal-hal yang
positif, dan malah menjurus pada hal-hal yang merugikan dirinya sendiri.
Keterkaitan abnormalitas dengan stress. Seseorang yang mengalami
abnormalitas dapat disebabkan oleh stress,
dan sebaliknya stress dapat
disebabkan oleh abnormalitas. Hal ini berkaitan dengan penyebab sosiokultural.
Seseorang bisa saja mengalami abnormalitas, seperti trauma atau depresi karena
sebelumnya mengalami stress yang
berkepanjangan. Saat dia mengalami tekanan dalam dirinya atau dihadapkan pada
suatu tekanan dari lingkungan sosialnya dan tidak bisa menghadapi atau
mengontrol dirinya, maka hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya
abnormalitas seperti depresi atau skizofrenia. Sebaliknya, seseorang yang
memang abnormal yang membuatnya tidak diterima di lingkungannya atau disisihkan
menyebabkan ia mengalami stress dan
pada akhirnya mungkin saja menambah dan memperparah abnormalitas orang
tersebut.
Keterkaitan abnormalitas dengan gender. Banyak sekali kasus-kasus abnormalitas yang kita temui atau
kita ketahui. Faktanya, kasus abnormalitas tersebut banyak terjadi pada kaum
pria. Misalnya saja ADHD (Attention
Deficit Hyperactive Disorder), menurut penelitian Breton yang dilakukan pada
1999, ADHD lebih banyak dialami oleh anak laki-laki dari pada perempuan, dengan
estimasi 2-4% untuk anak perempuan dan 6-9% untuk anak laki-laki usia 6-12
tahun. Selanjutnya Asperger Syndrome yang merupakan gejala autisme, Berdasarkan
perkiraan yang dikutip situs webmd.com,
sindrom ini dialami oleh 0,024 hingga 0,36 persen dari anak-anak. Gangguan ini
lebih umum dialami laki-laki dibandingkan perempuan dan biasanya terdiagnosis
saat anak berusia antara dua dan enam tahun. Berdasarkan fakta-fakta tersebut
umumnya laki-laki lebih banyak mengalami abnormalitas dibanding wanita. Hal ini
dapat dijelaskan secara biologis, dimana terdapat perbedaan kromosom dan
susunan genetik antara laki-laki dan perempuan yang memungkinkan laki-laki
lebih banyak mewarisi abnormalitas secara genetik dibandingkan dengan
perempuan. Selain itu kasus lain adalah mengenai bunuh diri yang banyak
terjadi, tidak hanya di negara berkembang namun juga di negara-negara maju
seperti Amerika. Faktanya lebih banyak pria mengakhiri hidupnya dengan bunuh
diri dibandingkan dengan wanita. Jika dijelaskan dengan pendekatan
sosiokultural, tuntutan lingkungan/masyarakat terhadap seorang pria jauh lebih
tinggi dibandingkan dengan wanita. Hal ini mengakibatkan banyak pria merasa
gagal untuk memenuhi tuntutan tersebut dan mengalami depresi yang berujung pada
bunuh diri.
Sumber:
Halgin,
R.P & Whitbourne, S.K. 2010. Psikologi
Abnormal Volume 1 Edisi 6. Jakarta:Salemba
Humanika.