BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Praktisi
dan mahasiswa psikoterapi awalnya enggan mempelajari pendekatan psikoterapi
lain, selain apa yang dipelajarinya. Hal tersebut menimbulkan permusuhan antara
penganut pendekatan psikoterapi yang yang satu dengan yang lainnya. Sekolah
psikoterapi mengalami pemisahan dengan sekolah-sekolah lainnya. Beberapa metode
pendekatan psikoterapi saling bersaing dan menganggap metodenya adalah metode
yang paling unggul. Perpecahan tersebut bersifat politis dan sama sekali tidak
mencerminkan realitas klinis.
B.
Tujuan
Pada
dasarnya tujuan penulisan makalah ini terbagi menjadi dua bagian, yaitu tujuan
umum dan tujuan khusus. Tujuan umum dalam penulisan makalah ini adalah untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Psikoterapi. Adapun tujuan khusus dari
penyusunan makalah Psikoterapi ini adalah:
1. Untuk
memahami tentang konsep dasar perspektif integratif.
2. Untuk
memahami tentang unsur-unsur perspektif integratif.
3. Untuk
memahami tentang teknik-teknik terapi dalam perspektif integratif.
C. Metode Penulisan
Dalam penulisan makalah
ini, penulis mempergunakan metode pustaka, yaitu metode yang dilakukan dengan
mempelajari dan mengumpulkan data dari pustaka yang berhubungan dengan alat,
baik berupa buku maupun jurnal online.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Konsep
Dasar Perspektif Integratif
Awalnya,
yang mendasari pendekatan modern untuk psikoterapi, yaitu para praktisi dan
mahasiswa psikoterapi enggan untuk mempelajari sistem psikoterapi lain, selain
yang telah mereka pelajari. Setiap sekolah psikoterapi dikembangkan dalam
keadaan terisolasi dari sekolah-sekolah lainnya. Keadaan pemisahan ini, dalam
bidang psikoterapi memberikan efek yang dramatis dan penting. Hal ini
mengakibatkan permusuhan yang tidak diinginkan di antara penganut berbagai aliran psikoterapi, dan upaya-upaya
untuk mengabaikan ide-ide atau metode-metode pendekatan yang saling bersaing
tanpa studi sistematis atau pertimbangan intelektual. Terapi self-imposed ini “apartheid” juga telah
memaksakan psikoterapis dan pasien dari manfaat inovasi klinis dan teoritis
yang telah diperkenalkan oleh rekan-rekan yang loyal terhadap pendekatan
psikoterapi lainnya. Michael Mahoney berpendapat pada tahun 1985 bahwa
perpecahan ini bersifat politis dan tidak mencerminkan realitas klinis yang
menunjukkan bahwa tidak ada sekolah terapi yang dapat mengklaim lebih unggul
daripada sekolah terapi lainnya.
Isolasionisme
keras di bidang psikoterapi ini berlawanan dengan fakta bahwa psikoterapi
selalu tertarik dan telah lama mencoba untuk menggunakan
perkembangan-perkembangan baru dalam pengetahuan alam dan sosial, filsafat,
teologi, seni, dan sastra. Sekelompok kecil sarjana dan klinisi telah mampu
melintasi batas sektarian dan membantah pemisahan sekolah psikoterapi.
Integrasionis/pemersatu ini ditujukan untuk membangun dialog yang berguna antar
anggota-anggota dari berbagai sektarian sekolah psikoterapi. Tujuan mereka
telah dikembangkan dari bentuk-bentuk yang paling efektif dari psikoterapi.
Terapi integrasi ini melibatkan konsep dan metode “best and brightest” dalam
teori-teori baru dan sistem pengobatan praktis.
Bentuk-bentuk
psikoterapi integratif sangat bervariasi tergantung pada versi tertentu yang
sedang dipertimbangkan, namun semua berbagi satu tujuan dan maksud bersama.
Psikoterapi integratif adalah hasil dari perpaduan dari konsep teoritis dan
teknik klinis dari dua atau lebih sekolah psikoterapi tradisional (seperti
terapi psikoanalisis dan behavior) menjadi satu pendekatan terapi. Diharapkan
bahwa terapi sintesis ini akan lebih kuat dan berlaku untuk populasi dan
masalah klinis yang lebih luas daripada psikoterapi model individual yang
membentuk dasar dari model integrasi.
Sejarah
awal upaya integrasi disusun oleh Marvin Goldfried dan Cory Newman pada tahun
1992, dan oleh Jerold Gold pada tahun 1993, diidentifikasi terpencar tapi
memiliki kontribusi yang penting sejak 1933, ketika Thomas French berpendapat bahwa
konsep dari pembelajaran Pavlov harus diintegrasikan dengan psikoanalisis. Pada
tahun 1944, Robert Sears menawarkan sebuah perpaduan dari teori belajar dan
psikoanalisis seperti yang dilakukan John Dollard dan Neal Miller pada tahun
1950 yang diterjemahkan dari konsep dan metode psikoanalisis ke dalam bahasa
dan kerangka prinsip-prinsip pembelajaran laboratorium.
Upaya
awal klinis mengintegrasikan intervensi behavioral dan psikoanalitik dalam
kasus tunggal diperkenalkan oleh Bernard
Weitzman pada tahun 1967, pada tahun 1971 oleh Judd Marmor, dan pada tahun 1973
oleh Benjamin Feather dan John Rhodes. Upaya-upaya klinis ini menunjukkan bahwa
faktor ketidaksadaran pada pasien psikopatologi bisa diperbaiki melalui metode
behavioral bersama dengan eksplorasi dan interpretasi psikodinamik tradisional.
Dalam
dua dekade terakhir sejumlah pendekatan integratif penting untuk psikoterapi
telah dikembangkan. Pada tahun 1977, Paul Watchel menerbitkan sebuah buku
terobosan yang menganjurkan integrasi antara teori psikoanalitik dan teori
belajar sosial, dan menunjukkan cara-cara dimana klinisi harus menggunakan
intervensi psikoanalitik dan behavioral yang efektif dengan satu pasien.
Pendekatan integratif ini menerima perhatian yang besar dalam terapi behavioral
dan masyarakat psikoanalitik, dan diikuti oleh upaya-upaya lain yang mendukung
adanya dialog antara klinisi dari berbagai orientasi, seperti artikel dan buku
yang terfokus pada topik integratif. Pada tahun 1984 Hal Arkowitz dan Stanley
Messer menerbitkan tentang perilaku terapis yang menonjol dan diskusi terapis
psikoanalitik, serta perdebatan tentang kemungkinan dua sistem integrasi.
Pada
tahun 1992 John Norcross dan Marvin Goldfried menerbitkan sebuah buku pegangan
yang menyajikan variasi perkembangan yang lengkap dari sistem psikoterapi
integratif. Upaya ini diikuti pada tahun 1993 oleh George Stricker dan Jerold
Gold dimana lebih banyak model integratif yang disajikan dan kegunaan klinis
dari psikoterapi integratif dieksplorasi berkaitan dengan variasi masalah dan
populasi klinis. Bagian ini mengilustrasikan model integratif yang tidak lagi
berfokus pada sintesis psikoanalitik dan behavioral. Upaya integratif baru
telah menggabungkan humanistik, kognitif, eksperiensial, dan model sistem
keluarga satu sama lain dengan komponen psikoanalitik dan perilaku dengan
komunikasi yang lebih mutakhir dan canggih. Proses psikoterapi eksperiensial
merupakan sebuah inovasi yang diperkenalkan oleh Leslie Greenberg, Laura Rice,
dan Robert Elliot pada tahun 1993, acceptance
and commitment therapy (ACT) yang dijelaskan oleh Steven Hayes, Kirk
Stroshal, dan Kelly Wilson pada tahun 1999, adalah contoh penting pendekatan
integratif yang sangat bergantung pada pendekatan integrasi humanistik dan
eksperiensial dengan terapi perilaku kognitif.
Demikian
pula model integratif yang digabung dengan eksistensial, humanistik, dan terapi
naratif yang dijelaskan oleh Alphons Richert.
Sistem
psikoterapi ini telah menerima peningkatan perhatian pada bagian klinisi dan
peneliti, dan menjadi alternatif yang layak bagi sekolah-sekolah psikoterapi.
Pada
tahun 1992 John Norcross dan Cory Newman mengidentifikasi delapan variabel yang
mendorong penyebaran psikoterapi integratif setelah puluhan tahun, yaitu: (1)
meningkatnya jumlah sekolah psikoterapi, (2) kurang jelasnya dukungan empiris
untuk keberhasilan sekolah terapi, (3) kegagalan teori tunggal untuk
menjelaskan dan memprediksi patologi, atau perubahan perilaku dan kepribadian,
(4) pertumbuhan jumlah dan kepentingan jangka pendek, psikoterapi terfokus, (5)
komunikasi yang lebih besar antara klinisi dan sarjana yang menghasilkan
kesediaan, kesempatan, dan eksperimentasi, (6) gangguan dalam ruang konsultasi
dari realitas dukungan sosial ekonomi yang terbatas oleh pihak ketiga untuk
psikoterapi jangka panjang, (7) identifikasi faktor-faktor umum dalam
psikoterapi yang terkait dengan hasil, (8) perkembangan organisasi profesi,
konferensi, dan jurnal yang didedikasikan untuk diskusi dan studi perspektif
integratif.
Ada
beberapa macam perspektif utama yang digunakan dalam psikoterapi. Beberapa
aspek dari berbagai macam teori dapat terlihat berguna dan menarik, sehingga
sulit menentukan pendekatan mana yang terbaik. Kebanyakan klinisi memilih aspek
dari berbagai macam model, tidak memperkecilnya dengan hanya menggunakan satu
pendekatan saja. Pada kenyataannya, dalam beberapa dekade ini, ada perubahan
dramatis dari pendekatan klinis yang dangkal yang bersumber dari satu model
teori. Sebagian besar klinisi akan menggunakan pendekatan yang dianggap
eklektik atau integral. Terapis melihat kebutuhan klien dari berbagai macam
perspektif dan mengembangkan perencanaan treatmen yang dapat memberikan
pengaruh terhadap permasalahan yang dihadapi.
B.
Unsur-unsur
Perspektif Integratif
1.
Tujuan
Terapi
Tujuan konseling dalam perspektif
integratif yaitu membantu konseli mengembangkan integritasnya pada level
tertinggi, yang ditandai oleh adanya aktualisasi diri dan integritas yang
memuaskan.
Untuk mencapai tujuan yang ideal ini
maka konseli perlu dibantu untuk menyadari sepenuhnya situasi masalahnya,
mengajarkan konseli secara sadar dan intensif memiliki latihan pengendalian di
atas masalah tingkah laku. Terapi ini berfokus secara langsung pada tingkah
laku, tujuan, masalah dan sebagainya.
2.
Peran
Konselor
Peran konselor sebenarnya tidak
terdefinisi secara khusus. Hanya saja dikemukakan peran konselor sangat
ditentukan oleh pendekatan yang digunakan dalam proses konseling itu. Jika
dalam proses konseling itu menggunakan psikoanalisis, maka peran konselor
adalah sebagai psikoanalisis, sementara jika pendekatan yang digunakan adalah
berpusat pada konseli maka perannya sebagai partner konseli dalam membuka diri
terhadap segenap pengalamannya.
Beberapa ahli memberi penekanan
bahwa konselor perlu memberi perhatian kepada konseli, menciptakan iklim yang
kondusif bagi perubahan yang diinginkan konseli. Pada dasarnya seluruh
pendekatan berkeinginan membantu konseli mengubah diri konseli.
Konselor dalam mencapai tujuannya
dapat berperan secara bervariasi, misalnya sebagai:
a.
konselor,
b.
psikiater,
c.
guru,
d.
konsultan,
e.
fasilitator,
f.
mentor,
g.
advisor, atau
h.
pelatih.
C.
Teknik-teknik
Terapi
Goldfried dan Norcross
berpendapat bahwa dalam perspektif integratif terdapat tiga teknik terapi,
yaitu: (1) teknik dengan pendekatan eklektik, (2) integrasi teoritis, dan (3)
pendekatan faktor umum.
Pendekatan yang
menggunakan teknik dengan pendekatan eklektik (technical eclecticism) berusaha untuk mencocokan antara intervensi
spesifik bagi setiap klien dan dalam hal menampilkan permasalahan. Para terapis
tersebut tidak berafiliasi dengan model teoritis tertentu, tetapi mereka
bersedia mengakui bahwa teknik tertentu dapat efektif dalam menangani
permasalahan tertentu. Misalnya, terapis yang tidak terlalu sering menggunakan
teknik perilaku dapat memahami kelebihan dari desentisiasi sistemik dalam
merawat klien dengan fobia dan penggunaan teknik-teknik yang bersifat
eksplorasi dalam memahami sumber perkembangan dari ketakutan dan gaya dependen
klien tersebut.
Eklektikisme (electicsm) adalah
pandangan yang berusaha menyelidiki berbagai sistem metode, teori, atau
doktrin, yang dimaksudkan untuk memahami dan bagaimana menerapkannya dalam
situasi yang tepat. Teori-teori yang dipelajari tersebut dalam beberapa hal
dapat dikatakan benar sekalipun tampak satu dengan lainnya saling bertentangan.
Eklektikisme berusaha untuk mempelajari teori-teori yang ada dan menerapkannya
dalam situasi yang dipandang tepat.
Pendekatan
konseling eklektik berarti konseling yang didasarkan pada berbagai konsep dan
tidak berorientasi pada satu pendekatan secara eksklusif. Eklektikisme
berpandangan bahwa sebuah teori memiliki keterbatasan konsep, prosedur, dan
teknik. Karena itu eklektikisme “dengan sengaja” mempelajari berbagai teori dan
menerapkannya sesuai dengan keadaan riil konseli.
Konseling
eklektik dapat pula disebut dengan pendekatan konseling integratif.
Perkembangan pendekatan ini sudah dimulai sejak tahun 1940-an, yaitu ketika
F.C. Thorne menyumbangkan pikirannya dengan mengumpulkan dan mengevaluasi semua
metode konseling yang ada (Gilliland dkk., 1984).
Dari
tahun 1945 hingga meninggalnya tahun 1978, Thorne telah memberikan kontribusi
yang sangat berharga bagi upaya pengintegrasian seluruh pengetahuan psikologi
ke dalam pendekatan yang sistematis dan komprehensif untuk konseling dan
psikoterapi. Dari kerja kerasnya ini Thorne memperoleh sambutan positif dan
sangat luas dari kalangan psikolog. Hal ini ditunjukkan dengan kenyataan bahwa
pada 1945 tidak ada anggota APA khususnya Divisi Psikologi Klinis yang
berkiblat pada ekletik, dan pada 1970 lebih 50% anggota APA telah merujuk pada
ekletik. Pertengahan tahun 1970-an 64% telah berorientasi pada eklektik
(Gilliland dkk., 1984). Oleh karena itu, menurut Prochoska (1984), konseling
eklektik telah menjadi aliran konseling yang paling populer di antara terapi
modern yang ada.
Di
antara ahli-ahli eklektik adalah Brammer dan Shostrom sejak 1960 yang
mengembangkan model konseling yang dinamakan “actualization counseling”, dan
telah membawa konseling ke dalam kerangka kerja lebih luas, yang tidak terbatas
pada satu perdekatan tetapi mengupayakan pendekatan yang integratif dari
berbagai pendekatan.
Pada
akhir 1960-an hingga 1977, R. Carkhuff juga telah mengembangkan konseling
eklektik, dengan cara melakukan testing
dan riset secara konprehensif, sistematik, dan terintegratif. Ahli lain yang
turut membantu pengembangan konseling ekletik diantaranya G. Egan dengan
istilah systemic helping, Prochaska
(1984) dengan nama integrative eclectic.
Integrasi teoritis (theoretical integration) melibatkan
formulasi pendekatan psikoterapi yang memberikan model yang berbeda-beda dan
memberikan dasar yang konsisten dalam pekerjaan klinis seseorang. Misalnya,
klinisi secara konsisten dapat memilih dua dasar teoritis, seperti sistem keluarga
dan perilaku kognitif yang kemudian dari kedua dasar teoritis tersebut klinisi
mengembangkan model intervensi. Dengan cara tertentu, klinisi mengembangkan
modelnya sendiri berdasarkan sintesis konseptual yang memberikan kontribusi
terhadap model yang telah dikembangkan sebelumnya. Pada permasalahan independen
yang ada saat ini, terapis dengan konsisten dapat mencari cara ketika sistem
keluarga dan kognisi yang maladaptif memberikan kontribusi terhadap stres pada
klien. Intervensi yang dilakukan berdasarkan pada pendekatan yang membawa kedua
model secara bersamaan.
Pada saat menggunakan
pendekatan faktor umum (common factor
approach) pada integrasi, klinisi mengembangkan strategi dengan mempelajari
kesamaan inti unsur dari berbagai macam terapi dan memilih komponen yang selama
beberapa waktu memperlihatkan sebagai
kontributor yang sangat efektif dalam memberikan hasil yang positif dari
psikoterapi. Dukungan yang kuat telah muncul dalam beberapa tahun terakhir terhadap
pentingnya membina hubungan antara klien dan terapis dalam menentukan efisiensi
treatmen. Sejalan dengan analisis ilmiah yang dapat dipercaya mengenai hasil
penelitian psikoterapi, Wampold (dalam Halgin & Whitbourne, 2010)
menyimpulkan bahwa faktor umum jika dibandingkan dengan teknik yang spesifik
adalah faktor yang dapat membuat psikoterapi bekerja. Pada kenyatannya, ia
mempertimbangkan faktor-faktor yang saling bergabung sebagai komponen kunci
dari psikoterapi. “Penggabungan tampaknya merupakan aspek yang penting dari
terapi, tanpa menghiraukan sifat dasar terapi”. Beberapa klinisi mengombinasikan
elemen dari tiga pendekatan integral yang menghasilkan dengan apa yang disebut
sebagai mixed model of integration.
CONTOH KASUS 1
Mr
X adalah seorang pria lajang berusia 35 tahun yang telah mengikuti sesi psikoterapi
karena menderita gangguan distimik selama beberapa tahun. Setelah dilakukan
eksplorasi dan interpretasi secara sadar, ditemukan faktor penyebab depresi. Ternyata
Mr. X tidak pernah bisa menerima perpisahannya dengan orang tuanya yang terjadi
ketika dirinya berusia sekitar 20 tahun. Pada saat itu, ia telah meninggalkan
karir yang menguntungkan di industri keuangan untuk menjadi guru sekolah
tinggi. Keputusan ini sangat memuaskan baginya secara emosional dan
interpersonal, tetapi bagi orang tuanya hal ini merupakan kekecewaan besar dan
pengkhianatan. Setelah mencoba untuk memperbaiki hubungan dan hanya menerima
terus kemarahan dan kritik dari orang tuanya, Mr X akhirnya berhenti bertemu
dan berbicara kepada mereka. Sejauh klien sadar, ia telah melupakan sakit hati
nya, kemarahan, dan kerinduan untuk kontak dengan keluarganya. Namun, seperti
mimpi-mimpinya, asosiasi bebas, dan reaksi terhadap eksplorasi terapis, menjadi
jelas bahwa ia terjebak dalam proses berkabung terputus dengan orang tuanya.
Dalam keadaan ini ia dilanda kemarahan pada ibu dan ayahnya, rasa bersalah dan
rasa malu karena telah menyakiti mereka, serta harapan yang tidak realistis
bahwa mereka akan datang suatu hari untuk mencintai dan menerima dia dengan
pilihannya. Semua emosi tersebut disimpan di luar kesadaran melalui proses
defensif aktif, di antaranya adalah keputusan yang tanpa disadari mengubah
kemarahannya melawan dirinya sendiri. Hasil dari serangan-serangan tak sadar
pada dirinya sendiri menjadikan dirinya merasa sedih, lesu, dan terus-menerus
diganggu oleh pikiran-kritik dan bayangan diri. Interpretasi proses tak sadar
dan emosional ini membantu untuk mendapatkan jarak dan bantuan dari sikap
menyerang terhadap diri sendiri, tapi dia belum bisa menyetujui bahwa pikiran
adalah inti dari permasalahan yang membuatnya depresi.
Pada
saat berada di titik ini, restrukturisasi kognitif dimulai dengan dua tujuan:
pertama, untuk meringankan penderitaan klien, dan kedua, untuk
mengeksternalisasi kemarahan klien yang diakibatkan oleh kehadiran
pikiran-pikiran mengenai kemarahannya terhadap orang tuanya. Penggunaan
integrasi kognitif ini merupakan ciri khas dari integrasi asimilatif, karena
melibatkan penggunaan teknik dari terapi kognitif. Dengan cara ini Mr. X sukses
melawan pemikiran diri yang kritis, gejala depresinya pun meningkat secara
signifikan. Ia mulai memiliki waktu yang lebih lama di mana harga dirinya
dipertahankan. Yang terpenting, ia mulai menyadari bahwa stimulus internal untuk
kritik dirinya sering secara samar-samar dirasakan ketika mengingat orang
tuanya, dan ia mulai untuk sepenuhnya merasakan kemarahan atas penolakan mereka
yang masih membara dalam dirinya. Tampaknya bahwa integrasi restrukturisasi
kognitif pada kenyataannya telah mencapai tujuan asimilatif yang membuat klien lebih
mudah menyadari dan mengakui konflik emosional alam bawah sadarnya. Mr X
memperoleh lebih banyak akses untuk menemukan alasan atas kemarahan dan
perasaan atas penolakan yang dialaminya, rasa bersalah dan rasa kegagalan pun
menjadi sangat berkurang. Namun, ia juga mengalami peningkatan kerinduan
terhadap orang tuanya dalam hal cinta dan persetujuan mereka. Perasaan ini membimbingnya
untuk menghubungi orang tuanya, tapi dia menolak dengan cara yang dingin dan
kejam ketika ia diminta untuk kembali ke pekerjaan lamanya. Pengalaman ini
tentu saja sepenuhnya mengecewakan bagi klien, tetapi membantunya untuk
memulihkan serangkaian kenangan dari masa kecilnya yang semuanya berkaitan
dengan ketidakmampuannya untuk memenuhi tuntutan orang tuanya untuk sukses di
bagian akademik, sosial, dan atletik. Kenangan ini bergema dalam dirinya saat
ini dan menumpuk dalam pikiran serta emosinya. Kenangan ini dieksplorasi selama
beberapa minggu pertama sesi terapi tanpa banyak kemajuan, tujuannya agar dapat
menghubungkan dirinya dengan perasaan bahwa dirinya dicintai.
Mengingat
bahwa dirinya sudah sangat mengenal teknik terapi kognitif yang kurang berhasil
mengatasi masalahnya, Mr. X meminta terapis untuk menggunakan cara lain dalam
mengatasi permasalahannya. Terapis kemudian menyarankan untuk menggunakan
teknik kursi kosong. Metode ini berasal dari terapi gestalt dan melibatkan pembicaraan
dengan imajinasi seseorang yaitu klien yang sedang membayangkan/berimajinasi
dan duduk di kursi terapi. Teknik ini telah ditemukan secara empiris menjadi
sangat efektif dalam membantu orang dengan ‘urusan yang belum selesai’ dalam
kasus ini, yaitu perasaan berkabung atas putusnya hubungan klien dengan orang
tuanya serta harapannya terhadap persetujuan orangtua dan cinta yang tampaknya
tidak mungkin untuk didapatkan. Penyesuaian preskriptif dari teknik yang
efektif dengan masalah tertentu ini adalah eklektisisme teknis, tetapi dalam
kasus ini juga memiliki tujuan yang asimilatif. Terapis berharap bahwa
faktor-faktor bawah sadar klien dapat lebih mudah ditelusuri dengan mendapatkan
gambaran interaksi antara klien dengan orang tuanya dalam sesi tersebut. Dengan
cara ini, Mr. X seperti berbicara dengan tokoh-tokoh imajiner dan mampu
memenuhi kebutuhannya akan cinta dan persetujuan dari orang tuanya, dan
menemukan bahwa katarsis ini membuatnya sedih tapi terhibur pada saat yang
sama, dengan rasa berkurangnya terhadap kebutuhan yang selama ini diharapkannya.
Dari gambaran tersebut, klien menyadari bahwa dia selalu menyalahkan diri
sendiri atas sikap dan kritik orang tuanya. Dialog dengan ‘mereka’ membantunya untuk
menjadi lebih menyadari keterbatasan emosional intrinsik orang tuanya, dan
untuk memisahkan rasa berharga dan perasaan dicintai dari ketidakmampuan mereka
untuk mencintai. Sekali lagi, teknik integratif telah sukses pada dua tingkat,
dalam hal ini pada tingkat pengalaman metode yang telah dirancang, dan pada
tingkat psikodinamik untuk hal yang telah terintegrasi dalam mode asimilatif.
Setelah
sekitar 11 bulan terapi, Mr X telah membebaskan diri dari suasana hati dysphoric, tetapi sudah mulai mengalami
serangan sering kecemasan yang berbatasan dengan panik. Hal ini memperjelas bahwa
ia juga menderita kecemasan sosial yang signifikan yang telah tersamarkan dan
dihindari oleh depresinya. Upaya untuk mengeksplorasi gejala kecemasan Mr X,
dan untuk mengidentifikasi pemicu situasional atau makna psikodinamik
gejala-gejala tersebut, adalah sia-sia. Mr X merasa tak berdaya dan tidak
kompeten selama diskusi ini, dan terapis akhirnya mulai mempertimbangkan
interaksi ini sebagai pengulangan transferential
beberapa hubungan masa lalu di mana kesulitan Mr X itu telah membuat kurangnya
perhatian atau kompetensi pada bagian penting lainnya. Terapis kemudian
menyarankan perubahan taktik: pengenalan teknik kognitif-perilaku yang
ditujukan untuk relaksasi, manajemen kecemasan, dan menenangkan diri. Teknik
ini telah digunakan untuk beberapa tujuan simultan. Tujuan pertama adalah untuk
mengatasi keadaan klinis dan untuk memungkinkan Mr X untuk menguasai kecemasan
dan untuk mendapatkan tingkat baru kenyamanan ketika menghadapi kecemasan.
Kedua, intervensi aktif adalah cara untuk memindahkan terapi melewati jalan
buntu ini, dan dengan demikian dapat mengatasi resistensi yang terlibat dalam
gejala kecemasan klien tanpa mengatasi resistensi tersebut secara langsung.
Upaya untuk menggali dan menafsirkan termotivasi secara tidak sadar, sifat
resistif kecemasan klien ternyata hanya membimbingnya untuk merasa dikritik,
tidak efektif, dan ‘bodoh’ serta menimbulkan persepsi bahwa terapis bersikap
memusuhi dan merendahkan. Akhirnya, terapis berharap bahwa dengan aktif
membantu Mr X untuk mengurangi kecemasannya, klien akan memiliki pengalaman (korektif
emosional) langsung dimana klien
dihargai dan dirawat yang akan menerangi dan memperbaiki perlakuan negatif dalam
hubungan antara klien dan terapis. Dengan begitu Mr X menjadi lebih mampu
mengelola kecemasannya, ia juga menjadi lebih sadar akan pencetus interpersonal/awal
mula gejala ini, dan juga lebih mampu mengeksplorasi makna penghindaran. Yang
paling penting, klien dan terapis mampu untuk membangun kembali aliansi kerja
yang positif dan untuk mengeksplorasi hubungan masa lalu yang bermanfaat,
terutama dengan ayah Mr X, di mana rasa sakit dan ketakutan Mr X itu telah
dipenuhi oleh ketidakpedulian dan ejekan. Saat ia menyatakan, “Dengan
menunjukkan bahwa Anda peduli bagaimana perasaan saya dan bahwa Anda bersedia
untuk membantu dengan cara menerima, Anda membuktikan betapa berbedanya Anda
dari ayah saya. Hal ini memungkinkan saya untuk melihat dan merasakan betapa
sakit hati dan marah padanya ketika ia menertawakan saya saat saya takut, dan
bagaimana saya menyangka saya mendapatkannya dari orang lain sekarang.”
Contoh
kasus ini menunjukkan cara-cara di mana intervensi dari sistem terapi lain
dapat berasimilasi ke dalam terapi psikodinamik, mengubah makna dan dampak dari
intervensi itu, dan berakibat pada perubahan psikodinamik dan interpersonal
yang tidak dapat diantisipasi (kognitif-perilaku dan pengalaman) sistem.
Intervensi aktif menyebabkan pengurangan gejala nyeri dan perolehan
keterampilan baru, tetapi juga menyebabkan perubahan radikal dalam pertahanan klien,
situasi transferensi, dan pemahamannya tentang psikodinamikanya. Yang paling
penting, penyediaan/intervensi aktif membantu mengarahkan pada pembentukan
cara-cara baru dan penting untuk memahami dirinya sendiri dan orang-orang
penting dalam hidupnya, yang menjadi dasar untuk harapan, rasa harga diri, dan kebebasan
baru, kesedihan, serta cara hidup.
ANALISIS
Kasus
tersebut menggunakan teknik perspektif integratif dimana penyelesaian masalah
klien menggunakan penggabungan beberapa terapi. Terapi pertama yang digunakan
adalah terapi kognitif yang bertujuan untuk menemukan dan menelusuri penyebab
dari permasalahan yang dihadapinya dan hal-hal yang tersimpan dalam alam bawah
sadarnya. Terapi ini berhasil membuat klien menyadari konflik emosional yang
dialaminya dan menurunkan rasa penyesalan serta rasa gagal klien. Namun, hal
ini meningkatkan kerinduan klien akan kasih sayang orang tuanya. Kemudian untuk
mengatasi hal ini, terapis menggunakan terapi kursi kosong yang merupakan
teknik gestalt. Terapi ini berhasil membuat klien menggambarkan bagaimana pola interaksinya
dengan orang tuanya, dan bagaimana ia tidak dapat memenuhi tuntutan orang
tuanya sejak dulu. Terapi ini juga berhasil membuat klien memenuhi kebutuhannya
akan kasih sayang orang tua yang selama ini diharapkannya, melalui proses
interaksi dengan tokoh-tokoh imajiner dalam bayangannya. Setelah 11 bulan
menjalani terapi, klien berhasil melepaskan diri dari perasaan disporik, namun
mulai timbul panik dan kecemasan. Terapis kemudian menyarankan klien untuk
menjalani terapi perilaku-kognitif. Hal ini bertujuan untuk mengatasi keadaan
klinis dan untuk memungkinkan klien untuk menguasai kecemasan. Awalnya teknik
ini menimbulkan perasaan-perasaan negatif klien dan hubungan dengan terapis pun
menjadi negatif. Namun, terapis membimbing klien dengan cara menghargai dan
merawatnya secara langsung untuk memperbaiki hubungan negatif tersebut. Hal ini
akhirnya berhasil memunculkan kembali hubungan positif klien dan terapis, serta
membuat klien yakin bahwa rasa takut dan kecemasannya tidak selalu membuat
orang-orang di sekitarnya menghindar dan mengejeknya, seperti yang pernah
dilakukan ayahnya.
CONTOH KASUS 2
Mila,
sebut saja begitu. Seorang mahasiswa tingkat tiga di salah satu Universitas
ternama di kota Makassar. Mila dalam keseharian dikenal sebagai seorang
mahasiswa yang ramah oleh teman-temannya. Tidak ada yang salah dalam
perilakunya, namun lain halnya bagi teman-teman dekat Mila. Mereka merasa bahwa
Mila memiliki kecemasan yang berlebihan, sehingga setiap saat harus ditemani
oleh temannya. Terutama dalam hal-hal yang membutuhkan pilihan. Bagi
teman-temannya, perilaku Mila yang terlalu bergantung pada orang lain cukup
mengganggu, mereka mengkhawatirkan apa yang akan terjadi jika tidak ada mereka
disamping Mila. Setelah melakukan wawancara langsung dengan Mila yang dibungkus
dalam bentuk curhat-curhatan, Mila mengaku bahwa ia menjadi seperti itu karena
Mila yang juga merupakan anak bungsu dan satu-satunya anak perempuan di
keluarganya sewaktu kecil segalanya diuruskan oleh orang tua dan
kakak-kakaknya. Mila mengatakan bahwa pernah sekali ia bermain dengan ayahnya,
ketika sang ayah tidak melihat Mila yang tengah bersembunyi dibalik tembok dan
tiba-tiba mengagetkan ayahnya. Namun, ternyata ayahnya langsung jatuh dan
kejang-kejang sambil memegang dadanya, dan setelah dirujuk ke dokter diketahui
bahwa ayahnya terkena penyakit jantung. Mila sangat sedih dan ketakutan dan
mengaku bahwa saat itulah pertama kalinya ia dimarahi habis-habisan oleh
kakak-kakaknya.
ANALISIS
A. Metode
Penanganan Humanistik
Asosiasi
bebas (free association)
Dalam asosiasi bebas, klien
mengungkapkan apapun yang ada pada pikirannya. Asosiasi bebas merupakan proses
pengungkapan tanpa sensor dari pikiran-pikiran segera setalah pikiran masuk
kebenak kita. Klien diminta untuk tidak menyensor atau menyaring pikiran,
tetapi membiarkan pikiran mereka mengembara secara bebas dari satu pikiran ke
pikiran lain.
Klien diminta untuk mengungkapkan apapun
yang ada pada pikirannya. Pada kasus diatas subjek diminta untuk menceritakan
apapun yang ada dipikirannya. Dengan demikian diasumsikan klien akan melepaskan
hubungan yang penuh konflik dengan orangtuanya melalui cara mentranfer perasaan
mengenai orangtuanya kepada klinisi. Ketika perasaan konflik mengenai orang tua
terpacu melalui transference, klinisi dapat membantu klien untuk proses Working trought. Pada proses ini, klien
dibantu untuk mencapai suatu resoles
yang lebih sehat bagi masalahnya dibandingkan dengan apa yang telah terjadi
pada masa kanak-kanak. Ketika pelaksaan terapi, sering terjadi (resistance) klien atau menarik diri. Dalam
hal ini tugas seorang klinis adalah membantu klien untuk mengatasi hal
tersebut. Selanjutnya klinisi melakukan interpretasi untuk membantu klien.
B. Metode
Penanganan Humanistik
Terapi
humanistik dan eksperimental kontemporer
Terapis humanistik dan eksperimental
kontemporer, mementingkan pentingnya memasuki dunia dan pengalaman klien.
Mencoba menangkap hal yang paling penting bagi klien pada saat itu. Dalam hal
ini biasanya menggunakan teknik wawancara motivasi / motivation interview-MI yaitu suatu cara terapis yang berpusat pada
klien untuk mencapai perubahan perilaku dengan cara membantu klien
mengeksplorasi dan mengatasi ketidakseimbangan.
Klinisi melakukan treatmen dengan klien melalui proses
wawancara yang dapat membuat klien rileks.
Melalui proses ini klinisi dapat memasuki dunia dan pengalaman klien sehingga
klinisi dapat memotivasi klien agar secara perlahan klien dapat menyadari dan
menginginkan serta melakukan perubahan perilaku.
C. Metode
Penanganan Gestal
Terapi
kelompok
Klien dalam terapi kelompok biasanya
merasakan kelegaan dan harapan karena menyadari bahwa masalah mereka tidaklah
unik. Terapi kelompok memberi mereka dukungan situasi yang kondusif untuk
diskusi yang terus terang mengenai dorongan dan metode kontrak diri.
Selain adanya keinginan dari klien untuk melakukan
perubahan, dukungan dari luar juga mempengaruhi. Di dalam terapi kelompok klien
diberikan dukungan dari orang-orang yang ada di sekitarnya sehingga dapat
membantu terjadinya perubahan perilaku pada klien.
CONTOH KASUS 3
S
adalah anak yang terdiagnosa mengalami keterlambatan bicara disebabkan kurang
stimulasi usia dini serta kesalahan pola asuh. Saat ini S duduk di TK-A sebuah
TK tri-lingual di Sidoarjo. Pada masa awal kehidupannya, subjek sering berganti
pengasuh dengan pendekatan pengasuhan yang berbeda, pola asuh yang berbeda,
serta penggunaan bahasa yang berbeda pula. Para pengasuh tersebut merupakan
calon TKW magang yang bekerja di perusahaan orang tua subjek. Para calon TKW
tersebut dituntut menggunakan berbagai macam bahasa yang telah diajarkan untuk
persiapan diberangkatkan ke luar negeri. Hal ini menyebabkan bahasa-bahasa
tersebut bercampur dengan bahasa ibu yang dimiliki subjek.
Selain
itu ayah subjek sangat protektif dan tidak pernah membiarkan subjek bermain di
lingkungan luar rumah. Padahal seharusnya subjek bisa berlatih berbicara dengan
melihat interaksi yang terjadi di sekelilingnya. Ketika di rumah pun subjek
hanya memiliki sedikit dorongan untuk berbicara. Orang tuanya pun mengaku tidak
telaten dalam melatih subjek berbicara. Jika menginginkan sesuatu, subjek
terbiasa berteriak dan semua keinginannya langsung terpenuhi. Hal ini membuat
subjek semakin terbiasa untuk tidak berbicara. Kondisi lingkungan pun tidak
mendukung subjek untuk berlatih berbicara.
ANALISIS KASUS
Rancangan
terapi yang diberikan kepada subjek adalah terapi keluarga secara berkala. Hal
ini dilakukan dengan cara memberikan pemahaman kepada keluarga subjek untuk
menyadari adanya kesalahan dalam pola asuh yang membuat subjek terlambat
bicara. Selain itu teknik terapi keluarga juga bertujuan agar keluarga dapat
membantu subjek dalam perubahan perilakunya, seperti memberikan banyak
kesempatan pada subjek untuk bisa berbicara dan mengungkapan keinginannya. Keluarga
juga diharapkan dapat memberikan stimulus-stimulus pada subjek agar mau
berbicara sedikit demi sedikit. Di samping terapi keluarga, digunakan pula
terapi perilaku. Terapi ini dilakukan dengan cara memberikan pelatihan pada
subjek untuk dapat melafalkan kata-kata dengan jelas agar dapat dipahami orang
lain. Selain itu, pemberdayaan lingkungan juga penting dilakukan. Hal ini
dilakukan dengan cara memberi pemahaman kepada para pengasuh subjek dan orang-orang
di sekitar subjek (selain keluarga), mengenai keterlambatan bicara dan cara
pengasuhan yang benar bagi anak yang terlambat bicara. Kombinasi terapi
tersebut diharapkan dapat memberikan perubahan perilaku yang positif bagi
subjek.
Daftar Pustaka
Corey, G. 2005. Theory and Practice of Counseling and Psychotherapy (6th. ed.). California: Brooks/Cole Publishing Company.
Habib & Hidayati. 2012. Intervensi Psikologis pada Pendidikan Anak dengan Keterlambatan Bicara. Jurnal Madrasah, 5, 1, 86-91.
Halgin, Richard P., & Susan Krauss Whitbourne. 2010. Psikologi Abnormal Edisi 6 Buku 1. Jakarta : Salemba Humanika
Hutchin, D.E. 1979. Systematic Counseling: The T-F-A Model for Counselor Intervention. The Personal Guidance Journal, 57
Jerry, G. 2002. Encyclopedia of Psychotherapy: Integrative Approaches of Psychotherapy. USA: Elsevier Science
Rakhmawati, dkk. 2012. Metode Penanganan II (Psikoanalisa,Humanistic,Gestalt). Jakarta: Skripsi. Tidak diterbitkan.
Thorne, F.C. 1977. "Eclectic Psychotherapy" dalam R. Corsini (eds.). Current Psychotherapies. Ch.12, pp. 445-485.